Trenggalek, 26 Agustus 2010
Seorang Relawan = SukarelawanAli Mustofa, Anggota LKM Rejowinangun, Trenggalek, Jawa Timur [Dok. Istimewa]
Rame ing gawe, sepi ing pamrih. Banyak kerja sedikit harapan akan imbalan, atau malah mungkin tidak sama sekali,begitulah kira-kira gambaran kasar dari sikap kesukarelawanan. Meski demikian, tidak semua orang dapat melakukan sikap kerelawanan, apapun alasannya.
Yang pasti, hanya orang-orang yang memiliki sikap empati tinggi saja yang mampu menjalaninya. Hanya orang-orang yang dapat merasakan penderitaan orang lain secara mendalam saja yang mampu menggerakkan hati, mengulurkan tangan dan menarik orang yang menderita dari kesusahan, meski tidak sepenuhnya lepas dari penderitaan. Setidaknya dapat mengurangi.
Memang sudah dikatakan sejak awal bahwa setiap manusia dibekali sikap sukarela tersebut dan karenanya ia disebut sebagai makhluk sosial. Tapi perlu juga diingat, ada kalanya seseorang itu memutuskan menolong atau tidak menolong dalam suatu keadaan. Keputusan yang akan diambil seseorang tergantung oleh banyak hal. Entah itu keadaannya, suasana hatinya, lingkungan, orang-orang sekitarnya, atau pikiran macam-macam yang berada di kepala seseorang tersebut untuk memutuskan ia mau menolong atau tidak menolong. Bahkan, bisa acuh tak acuh.
Itu berarti menunjukkan bahwa cuma orang yang berempati pada suatu peristiwa dan dengan sikap kesukarelaan yang sudah terlatih saja yang dapat terjun langsung memutuskan menolong tanpa pikir panjang.
Mari kita ambil satu contoh serderhana. Kali ini kita berada dalam sebuah angkutan umum dan ada tukang minta-minta berjalan sambil mengulurkan tangan mengharapkan belas kasihan orang-orang yang berada dalam angkutan umum tersebut. Kita bisa lihat—jika kita duduk di bangku paling belakang—siapa saja yang memberi dan siapa yang tidak, siapa yang besar memberinya dan siapa yang paling sedikit. Sampai tangan itu menyodor ke arah kita, dan melihat tumpukan uang di tangan pengemis itu di hadapan kita, apakah kita akan merogoh kantong mencari lembaran uang dengan nominal besar atau sekedar uang recehan dengan nominal paling kecil yang ada dalam kantong?
Seandainya saja kita mengingat-ingat jumlah uang yang berada dalam kantong, karena hal ini penting untuk pencatatan pengeluaran, dan seandainya juga Anda adalah seorang pencatat pengeluaran keuangan pribadi dengan sangat teliti, lalu kita memberikan sebagian rejeki kepada pengemis itu sementara di tangannya sudah menumpuk uang kertas dan receh yang diberikan orang-orang kepadanya? (Anda ataupun saya tidak perlu menjawabnya sekarang).
Tapi, seandainya kita tepat berada dalam situasi demikian, bukan simulasi, apakah Anda akan memberi? Apakah akan berpikir panjang-lebar terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk memberi atau tidak? Meski, seandainya, pengemis itu masih beberapa langkah dari hadapan Anda. Apakah Anda akan meliarkan mata dari kaki sampai ujung rambut pengemis itu sebelum menjatuhkan sekoin recehan ke tangan pengemis tersebut, bahkan selembar uang sepuluh ribuan?
Saya tidak mencoba untuk berusaha menghakimi siapa-siapa dalam hal ini, apakah Anda atau saya adalah orang yang tulus atau tidak tulus. Itu hanya masalah pilihan saja. Yang mau coba saya tekankan adalah bagaimana sikap kesukarelaan itu dapat muncul dalam suatu keadaan atau peristiwa dalam diri seseorang. Bahkan, mungkin dalam aspek kehidupan sosial yang lebih besar ketimbang hanya sebuah kecelakaan mobil, umpamanya.
Bagi saya, apa pun lembaga-lembaga yang diusung seseorang, motivasi dan sikap politis atau tidak politis apa pun yang diemban, mengharapkan tanda jasa, imbalan atau benar-benar tulus tidak mengharapkan apa-apa dalam melakukan tindak kesukarelaan. Sikap itu akan selalu ada pada diri orang-orang yang memang memiliki rasa sosial dan empati yang tinggi, dalam setiap zaman! (Ali Mustofa, Anggota LKM Rejowinangun, Trenggalek, Jawa Timur; Firstavina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar