Perang di Kurukshetra (Sanskerta: कुरुक्षेत्रयुद्ध ;Kurukshetrayuddha), yang merupakan bagian penting dari wiracarita Mahabharata, dilatarbelakangi perebutan kekuasaan antara lima putra Pandu (Pandawa) dengan seratus putra Dretarastra (Korawa). Dataran Kurukshetra yang menjadi lokasi pertempuran ini masih bisa dikunjungi dan disaksikan sampai sekarang. Kurukshetra terletak di negara bagian Haryana, India.
Pertempuran tersebut tidak diketahui dengan pasti kapan terjadinya, sehingga kadang-kadang disebut terjadi pada "Era Mitologi". Beberapa peninggalan puing-puing di
Kurukshetra (seperti misalnya benteng) diduga sebagai bukti arkeologinya. Menurut kitab
Bhagawadgita, perang di Kurukshetra terjadi 3000 tahun sebelum tahun Masehi (5000 tahun yang lalu) dan hal tersebut menjadi referensi yang terkenal.
[2]
Meskipun pertempuran tersebut merupakan pertikaian antar dua keluarga dalam satu
dinasti, namun juga melibatkan berbagai kerajaan di daratan
India pada masa lampau. Pertempuran tersebut terjadi selama 18 hari, dan jutaan tentara dari kedua belah pihak gugur. Perang tersebut mengakibatkan banyaknya wanita yang menjadi janda dan banyak anak-anak yang menjadi anak yatim. Perang ini juga mengakibatkan krisis di daratan India dan merupakan gerbang menuju zaman
Kaliyuga, zaman kehancuran menurut kepercayaan
Hindu.
[sunting] Latar belakang
Perang di Kurukshetra merupakan klimaks dari
Mahābhārata, sebuah
wiracarita tentang pertikaian
Dinasti Kuru sebagai titik sentralnya. Perebutan kekuasaan yang merupakan penyebab perang ini, terjadi karena para putra
Dretarastra tidak mau menyerahkan tahta
kerajaan Kuru kepada saudara mereka yang lebih tua, yaitu
Yudistira, salah satu lima putra
Pandu alias
Pandawa. Nama
Kurukshetra yang menjadi lokasi pertempuran ini bermakna "daratan Kuru", yang juga disebut
Dharmakshetra atau "daratan keadilan". Lokasi ini dipilih sebagai ajang pertempuran karena merupakan tanah yang dianggap suci oleh umat
Hindu. Dosa-dosa apa pun yang dilakukan di sana pasti dapat terampuni berkat kesucian daerah ini.
[3]
Dalam kitab
Mahabharata disebutkan bahwa pangeran
Dretarastra yang buta sejak lahir terpaksa menyerahkan takhta
kerajaan Kuru dengan pusat pemerintahan di
Hastinapura kepada adiknya,
Pandu, meskipun dia merupakan putra sulung. Pandu berputra lima orang, yang dikenal dengan sebutan
Pandawa, dengan Yudistira sebagai putra sulung. Setelah Pandu wafat, Dretarastra menggantikan posisinya sebagai kepala pemerintahan sementara sampai kelak putra sulung Pandu dewasa.
[2] Kelima putra Pandu (
Pandawa) dan seratus putra Dretarastra (
Korawa) tinggal bersama di istana
Hastinapura dan dididik oleh guru yang sama, bernama
Drona dan
Krepa. Disamping itu, mereka dibimbing oleh seorang bijak bernama
Bisma, kakek mereka. Oleh guru dan kakeknya, Yudistira dianggap pantas meneruskan takhta Kerajaan Kuru, sebab ia berkepribadian baik. Disamping itu, Yudistira merupakan pangeran yang tertua di antara saudara-saudaranya.
Para Korawa, khususnya
Duryodana, berambisi menguasai takhta
Dinasti Kuru. Namun ambisi tersebut terhalangi sebab Yudistira dipandang lebih layak menjadi Raja Kuru daripada Duryodana. Untuk mewujudkan ambisinya, Duryodana berusaha menyingkirkan Yudistira dan para Pandawa dengan berbagai upaya, termasuk melakukan usaha pembunuhan. Namun kelima putra Pandu tersebut selalu selamat dari kematian, berkat perlindungan dari pamannya dan sepupu mereka, yaitu
Widura dan
Kresna.
[2].
Sebuah pohon beringin yang dikeramatkan di
Kurukshetra, yang dianggap sebagai saksi bisu saat Sri
Kresna menurunkan sloka-sloka suci dalam kitab
Bhagawadgita, sesaat sebelum perang berlangsung.
Setelah gagal dalam usaha pembunuhan, kemudian
Korawa memutuskan untuk menipu para Pandawa dengan cara mengajak mereka bermain dadu, dengan syarat yang kalah harus meninggalkan istana selama tiga belas tahun. Permainan dadu yang sudah disetel dengan licik mengakibatkan Pandawa kalah, sehingga mereka harus meninggalkan kerajaan selama tiga belas tahun dan terpaksa mengasingkan diri ke hutan. Sebelum Pandawa dibuang, Dretarastra berjanji akan menyerahkan takhta kerajaan Kuru kepada Yudistira sebab ia merupakan putra mahkota Dinasti Kuru yang sulung.
Setelah masa pengasingan selama tiga belas tahun berakhir, sesuai dengan perjanjian yang sah,
Pandawa berhak meminta kembali kerajaannya. Namun
Duryodana menolak mentah-mentah untuk menyerahkan kembali kerajaannya. Meskipun mendapatkan tanggapan seperti itu, Yudistira dan adik-adiknya masih mampu bersabar. Sebagai seorang pangeran,
Pandawa merasa wajib dan berhak turut serta dalam administrasi pemerintahan, maka mereka meminta lima buah desa saja. Tetapi Duryodana sombong dan berkata bahwa ia tidak bersedia memberikan tanah kepada para Pandawa, bahkan yang seluas ujung jarum pun. Jawaban itu membuat para Pandawa tidak bisa bersabar lagi dan perang tak bisa dihindari. Di pihak lain, Duryodana pun sudah mengharapkan peperangan.
[2]
[sunting] Misi damai Sri Kresna
Sebelum keputusan untuk berperang diumumkan, para
Pandawa berusaha mencari sekutu dengan mengirimkan surat permohonan kepada para raja di
daratan India Kuno agar mau mengirimkan pasukannya untuk membantu para Pandawa jika perang tidak batal dilakukan. Begitu juga yang dilakukan oleh para
Korawa, mencari sekutu. Hal itu membuat para raja di daratan India Kuno terbagi menjadi dua pihak, pihak Pandawa dan pihak Korawa.
Sementara itu,
Kresna mencoba untuk melakukan perundingan damai. Kresna pergi ke
Hastinapura untuk mengusulkan perdamaian antara pihak Pandawa dan Korawa. Namun
Duryodana menolak usul Kresna dan merasa dilecehkan, maka ia menyuruh para prajuritnya untuk menangkap Kresna sebelum meninggalkan istana. Tetapi Kresna bukanlah manusia biasa. Ia mengeluarkan sinar menyilaukan yang membutakan mata para prajurit Duryodana yang hendak menangkapnya. Pada saat itu pula ia menunjukkan bentuk rohaninya yang hanya disaksikan oleh tiga orang berhati suci:
Bisma,
Drona, dan
Widura.
Setelah Kresna meninggalkan istana
Hastinapura, ia pergi ke Uplaplawya untuk memberitahu para Pandawa bahwa perang tak akan bisa dicegah lagi. Ia meminta agar para Pandawa menyiapkan tentara dan memberitahu para sekutu bahwa perang besar akan terjadi.
[sunting] Persiapan perang
Sebuah ilustrasi kereta perang yang digunakan saat perang di Kurukshetra. Lukisan ini menggambarkan
Kresna yang sedang menjadi kusir kereta
Arjuna. Lukisan dibuat sekitar abad ke-18.
Kresna tidak bersedia bertempur secara pribadi. Ia mengajukan pilihan kepada para
Pandawa dan
Korawa, bahwa salah satu boleh meminta pasukan Kresna yang jumlahnya besar sementara yang lain boleh memanfaatkan tenaganya sebagai seorang ksatria. Mendapat kesempatan itu,
Arjuna dan
Duryodana pergi ke
Dwaraka untuk memilih salah satu dari dua pilihan tersebut.
Duryodana jenius di bidang politik, maka ia memilih tentara Kresna. Sedangkan para
Pandawa yang diwakili Arjuna, bersemangat untuk meminta tenaga Sri Kresna sebagai seorang penasihat dan memintanya agar bertempur tanpa senjata di medan laga. Sri Kresna bersedia mengabulkan permohonan tersebut, dan kedua belah pihak merasa puas.
Pandawa telah mendapatkan tenaga Kresna, sementara Korawa telah mendapatkan tentara Kresna. Persiapan perang dimatangkan. Sekutu kedua belah pihak yang terdiri dari para Raja dan ksatria gagah perkasa dengan diringi pasukan yang jumlahnya sangat besar berdatangan dari berbagai penjuru India dan berkumpul di markasnya masing-masing. Pandawa memiliki tujuh divisi sementara Korawa memiliki sebelas divisi. Beberapa
kerajaan pada zaman India kuno seperti
Kerajaan Dwaraka,
Kerajaan Kasi,
Kerajaan Kekeya,
Magada,
Matsya,
Chedi,
Pandya dan wangsa
Yadu dari
Mandura bersekutu dengan para Pandawa; sementara sekutu para Korawa terdiri dari Raja
Pragjyotisha, Raja
Angga, Raja
Kekaya, Raja
Sindhu,
kerajaan Kosala,
Kerajaan Awanti,
Kerajaan Madra,
Kerajaan Gandhara,
Kerajaan Bahlika,
Kamboja, dan masih banyak lagi.
[sunting] Pihak Pandawa
Pasukan Pandawa dibagi menjadi tujuh divisi. Setiap divisi dipimpin oleh Raja
Drupada dan kedua putranya — Pangeran
Drestadyumna dan Pangeran
Srikandi — dari
Panchala, Raja
Wirata dari
Matsya,
Satyaki,
Cekitana dan
Bima. Setelah berunding dengan para pemimpin mereka, para Pandawa menunjuk Drestadyumna sebagai panglima perang pasukan Pandawa. Kitab
Mahabharata menyebutkan bahwa seluruh kerajaan di daratan India utara bersekutu dengan Pandawa dan memberikannya pasukan yang jumlahnya besar. Beberapa di antara mereka yakni:
Kerajaan Kekeya,
Kerajaan Pandya,
Kerajaan Chola,
Kerajaan Kerala,
Kerajaan Magadha, dan masih banyak lagi.
[sunting] Pihak Korawa
Duryodana meminta
Bisma untuk memimpin pasukan
Korawa. Bisma menerimanya dengan perasaan bahwa ketika ia bertarung dengan tulus ikhlas, ia tidak akan tega menyakiti para
Pandawa. Bisma juga tidak ingin bertarung di sisi
Karna dan tidak akan membiarkannya menyerang Pandawa tanpa aba-aba darinya. Bisma juga tidak ingin dia dan Karna menyerang Pandawa bersamaan dengan ksatria Korawa lainnya. Ia tidak ingin penyerangan secara serentak dilakukan oleh Karna dengan alasan bahwa
kasta Karna lebih rendah daripada kastanya. Bagaimanapun juga, Duryodana memaklumi keadaan Bisma dan mengangkatnya sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Pasukan dibagi menjadi sebelas divisi. Seratus
Korawa dipimpin oleh Duryodana sendiri bersama dengan adiknya —
Dursasana, putera kedua Dretarastra, dan dalam pertempuran tersebut Korawa dibantu oleh
Drona dan putranya
Aswatama, kakak ipar para Korawa —
Jayadrata, serta guru mereka —
Krepa. Selain itu, turut pula
Kertawarma dari
Wangsa Yadawa,
Salya dari
Madra,
Sudaksina dari
Kamboja,
Burisrawa putra Somadatta, Raja
Bahlika,
Sangkuni dari
Gandhara, Wrehadbala Raja
Kosala, Winda dan Anuwinda dari
Awanti, dan masih banyak lagi para ksatria dan raja yang memihak Korawa demi
Hastinapura maupun
Dretarastra.
[sunting] Pihak netral
Kerajaan
Widarbha dan rajanya, Raja
Rukmi, selayaknya kakak Kresna,
Baladewa, adalah pihak yang netral dalam peperangan tersebut.
[sunting] Divisi pasukan dan persenjataan
Setiap pihak memiliki jumlah pasukan yang besar. Pasukan tersebut dibagi ke dalam divisi (
aksohini). Setiap divisi berjumlah 218.700 prajurit yang terdiri dari:
- 21.870 pasukan berkereta kuda
- 21.870 pasukan penunggang gajah
- 65.610 pasukan penunggang kuda
- 109.350 tentara biasa (infantri)
Perbandingan jumlah mereka adalah 1:1:3:5. Pasukan pandawa memiliki 7 divisi, total pasukan=1.530.900 orang. Pasukan Korawa memiliki 11 divisi, total pasukan=2.405.700 orang. Total seluruh pasukan yang terlibat dalam perang=3.936.600 orang. Jumlah pasukan yang terlibat dalam perang sangat banyak sebab divisi pasukan kedua belah pihak merupakan gabungan dari divisi pasukan kerajaan lain di seluruh daratan India.
Senjata yang digunakan dalam perang di Kurukshetra merupakan senjata kuno dan primitif, contohya:
panah;
tombak;
pedang; golok;
kapak-perang;
gada; dan sebagainya. Para kesatria terkemuka seperti
Arjuna,
Bisma,
Karna,
Aswatama,
Drona, dan
Abimanyu, memilih senjata panah karena sesuai dengan keahlian mereka.
Bima dan
Duryodana memilih senjata gada untuk bertarung. Meskipun demikian, tidak selamanya kesatria tersebut hanya menggunakan satu jenis senjata saja. Kadangkala, Bima menggunakan panah, sedangkan Abimanyu menggunakan pedang.
[sunting] Formasi militer
Ilustrasi formasi
Cakrabyuha (formasi melingkar), salah satu formasi perang yang digunakan oleh pihak
Korawa.
Formasi militer adalah hal yang penting untuk mencapai kemenangan dalam peperangan. Dengan formasi yang baik dan sempurna, maka musuh juga lebih mudah ditaklukkan. Ada beberapa formasi militer yang disebutkan dalam
Mahabharata, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Beberapa macam formasi militer tersebut sebagai berikut:
- Krauncabyuha (formasi bangau)
- Cakrabyuha (formasi cakram/melingkar)
- Kurmabyuha (formasi kura-kura)
- Makarabyuha (formasi buaya)
- Trisulabyuha (formasi trisula)
- Sarpabyuha (formasi ular)
- Kamalabyuha atau Padmabyuha (formasi teratai)
Sulit mengindikasi dengan tepat makna dari nama-nama formasi tersebut. Nama formasi mungkin saja mengindikasi bahwa sebuah pasukan memilih suatu bentuk tertentu (seperti elang, bangau, dll.) sebagai formasi, atau mungkin saja nama suatu formasi berarti strategi mereka mirip dengan suatu hewan/hal tertentu.
[sunting] Aturan perang
Dua pemimpin tertinggi dari kedua belah pihak bertemu dan membuat "peraturan tentang perlakuan yang etis" (
Dharmayuddha) sebagai aturan perang. Peraturan tersebut sebagai berikut:
- Pertempuran harus dimulai setelah matahari terbit dan harus segera dihentikan saat matahari terbenam.
- Pertempuran satu lawan satu; tidak boleh mengeroyok prajurit yang sedang sendirian.
- Dua kesatria boleh bertempur secara pribadi jika mereka memiliki senjata yang sama atau menaiki kendaraan yang sama (kuda, gajah, atau kereta).
- Tidak boleh membunuh prajurit yang menyerahkan diri.
- Seseorang yang menyerahkan diri harus menjadi tawanan perang atau budak.
- Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang tidak bersenjata.
- Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang dalam keadaan tidak sadar.
- Tidak boleh membunuh atau melukai seseorang atau binatang yang tidak ikut berperang.
- Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit dari belakang.
- Tidak boleh menyerang wanita.
- Tidak boleh menyerang hewan yang tidak dianggap sebagai ancaman langsung.
- Peraturan khusus yang dibuat untuk setiap senjata mesti diikuti. Sebagai contoh, dilarang memukul bagian pinggang ke bawah pada saat bertarung menggunakan gada.
- Bagaimanapun juga, para kesatria tidak boleh berjanji untuk berperang dengan curang.
Meskipun aturan perang telah disepakati, banyak prajurit dan kesatria dari kedua belah pihak yang melanggarnya, dan tidak jarang mereka melakukannya.
[sunting] Jalannya pertempuran
Para raja dan kesatria meniup terompet kerang mereka sebagai isyarat bahwa pertempuran akan segera dimulai.
Pertempuran berlangsung selama 18 hari. Pertempuran berlangsung pada saat matahari muncul dan harus segera diakhiri pada saat matahari terbenam. Kedua belah pihak bertarung di dataran
Kurukshetra dan setiap hari terjadi pertempuran yang berlangsung sengit dan mengesankan. Dalam setiap pertarungan yang terjadi dalam 18 hari tersebut, ksatria yang tidak terbunuh dan berhasil mempertahankan nyawanya adalah pemenang karena pertempuran tersebut adalah pertempuran menuju kematian. Siapa yang bertahan hidup dan berhasil memusnahkan lawan-lawannya, dialah pemenangnya.
[sunting] Beberapa saat sebelum perang
Pada hari pertempuran pertama, begitu juga pada hari-hari berikutnya, pasukan para Korawa berbaris menghadap barat sedangkan pasukan para Pandawa berbaris menghadap timur. Pasukan Korawa membentuk formasi seperti burung elang: pasukan penunggang gajah sebagai tubuhnya; pasukan para Raja dan ksatria di barisan depan sebagai kepalanya; dan pasukan penunggang kuda sebagai sayapnya. Dalam urusan perang,
Bisma berkonsultasi dengan panglima
Drona,
Bahlika dan
Krepa.
Pasukan Pandawa diatur oleh
Yudistira dan
Arjuna agar membentuk "formasi Bajra". Karena pasukan Pandawa lebih kecil daripada pasukan Korawa, maka strategi berperang dibuat agar memungkinkan pasukan yang kecil untuk menyerang pasukan yang besar. Sesuai strategi Pandawa, pasukan pemanah akan menghujani musuh dengan panah dari belakang pasukan garis depan. Pasukan garis depan menggunakan senjata langsung jarak pendek seperti:
gada,
pedang,
kapak,
tombak, dll. Pasukan Korawa terdiri dari sebelas divisi di bawah perintah
Bisma. Sepuluh divisi pasukan Korawa membentuk barisan yang sangat hebat, sedangkan divisi kesebelas masih berada di bawah aba-aba langsung dari Bisma, dan sebagian divisi melindunginya dari serangan langsung karena Bisma sangat berguna dan merupakan harapan untuk menang.
Setelah sepakat dengan formasi dan strategi masing-masing, pasukan kedua belah pihak berbaris rapi.
Duryodana optimis melihat pasukan Korawa memiliki para kesatria tangguh yang setara dengan
Bima dan
Arjuna. Namun ada tokoh-tokoh lain yang setara dengan mereka seperti
Yuyudana (Satyaki),
Wirata, dan
Drupada yang ia anggap sebagai batu rintangan dalam mencapai kajayaan dalam pertempuran. Ia juga optimis karena ksatria-ksatria yang sangat ahli di bidang militer, yaitu
Bisma,
Karna,
Kertawarma,
Wikarna,
Burisrawa, dan
Krepa, ada di pihaknya. Selain itu Raja agung seperti
Yudhamanyu dan
Uttamauja yang sangat perkasa juga turut berpartisipasi dalam pertempuran sebagai penghancur bagi musuh-musuhnya. Bisma, dengan diikuti oleh Para Raja dan ksatria dari kedua belah pihak meniup "sangkala" (terompet kerang) mereka tanda pertempuran akan segera dimulai.
Patung Kresna yang sedang memberikan wejangan kepada Arjuna menjelang pertempuran. Patung tersebut terdapat di
Tirumala,
India.
Ketika terompet sudah ditiup dan kedua pasukan sudah berhadap-hadapan, bersiap-siap untuk bertempur,
Arjuna menyuruh
Kresna, guru spiritual sekaligus kusir keretanya, agar mengemudikan keretanya menuju ke tengah medan pertempuran supaya ia bisa melihat, siapa yang siap bertempur dan siapa yang harus ia hadapi. Tiba-tiba Arjuna dilanda perasaan takut akan kemusnahan wangsa
Bharata, keturunan
Kuru, nenek moyangnya. Arjuna juga dilanda kebimbangan akan melanjutkan pertarungan atau tidak. Ia melihat kakek tercintanya, bersama-sama dengan gurunya, paman, saudara sepupu, ipar, mertua, dan teman bermain semasa kecil, semuanya kini berada di
Kurukshetra, harus bertarung dengannya dan saling bunuh. Arjuna merasa lemah dan tidak tega untuk melakukannya.
Dilanda oleh pergolakan batin, antara mana yang merupakan ajaran agama, mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna bertanya kepada
Kresna yang mengetahui dengan baik segala ajaran agama. Kresna, yang memilih menjadi kusir kereta Arjuna, menjelaskan dengan panjang lebar ajaran-ajaran ketuhanan dan kewajiban seorang kesatria, agar dapat membedakan antara yang baik dengan yang salah. Ajaran tersebut kemudian dirangkum menjadi sebuah kitab
filsafat yang sangat terkenal yang bernama
Bhagawadgita. Dalam
Bhagawadgita, Kresna menyuruh Arjuna untuk tidak ragu dalam melakukan kewajibannya sebagai seorang ksatria yang berada di jalur yang benar. Ia juga mengingatkan bahwa kewajiban Arjuna adalah membunuh siapa saja yang ingin mengalahkan kebajikan dengan kejahatan. Kemudian Sri Kresna menunjukkan bentuk semestanya kepada Arjuna, agar Arjuna tahu siapa ia sesungguhnya sehingga segala keraguan dalam hatinya sirna. Dalam wujud semesta tersebut, ia meyakinkan Arjuna bahwa sebagian besar para ksatria perkasa di kedua belah pihak telah dihancurkan, dan yang bertahan hidup hanya beberapa orang saja, maka tanpa ragu Arjuna harus mau bertempur.
Sebuah patung di
Singapura, yang menggambarkan adegan Kresna menampakkan wujud rohaninya kepada Arjuna.
Sebelum pertempuran dimulai,
Yudistira melakukan sesuatu yang mengejutkan. Tiba-tiba ia meletakkan senjata, melepaskan
baju zirah, turun dari kereta dan berjalan ke arah pasukan Korawa dengan mencakupkan tangan seperti berdoa. Para
Pandawa dan para
Korawa tidak percaya dengan apa yang dilakukannya, dan mereka berpikir bahwa Yudistira sudah menyerah bahkan sebelum panah sempat melesat. Ternyata Yudistira tidak menyerah. Dengan hati yang suci Yudistira menyembah
Bisma dan memohon berkah akan keberhasilan. Bisma, kakek dari para Pandawa dan Korawa, memberkati Yudistira. Setelah itu, Yudistira kembali menaiki keretanya dan pertempuran siap untuk dimulai.
[sunting] Hari pertama
Setelah isyarat penyerangan diumumkan, kedua belah pihak maju dengan senjata lengkap. Divisi pasukan Korawa dan divisi pasukan Pandawa saling bantai.
Bisma maju menyerang tentara Pandawa dan membinasakan apapun yang menghalangi jalannya.
Abimanyu putra
Arjuna melihat hal tersebut dan menyuruh para pamannya agar berhati-hati. Ia sendiri mencoba menyerang Bisma dan para pengawalnya, namun usaha para kesatria Pandawa tidak berhasil. Mereka menerima kekalahan.
Putra Raja
Wirata –
Utara – maju menghadapi
Salya Raja
Madra. Utara yang menaiki gajah perang, mencoba melumpuhkan kereta perang Salya. Setelah keretanya lumpuh, Salya meluncurkan senjata lembingnya ke arah Utara. Senjata tersebut menembus
baju zirah Utara. Kemudian, Salya menyerang gajah tunggangan Utara dengan panah-panahnya. Utara dan gajahnya pun gugur seketika. Setelah Utara gugur,
Sweta mengamuk. Dengan nafsu membunuh, ia mengejar Salya. Para kesatria Korawa yang menyadari hal itu segera melindungi Salya, namun tidak ada yang mampu mengatasi kemarahan Sweta. Akhirnya Bisma turun tangan. Dengan senjata khusus, ia memanah Sweta sehingga kesatria tersebut gugur seketika.
Ketidakmampuan Pandawa melawan Bisma, serta kematian Utara dan Sweta di hari pertama, membuat
Yudistira menjadi pesimis. Namun Sri
Kresna berkata bahwa kemenangan sesungguhnya akan berada di pihak Pandawa.
Pada hari kedua,
Arjuna bertekad untuk membalikkan keadaan yang didapat pada hari pertama. Arjuna mencoba untuk menyerang
Bisma dan membunuhnya, namun para pasukan Korawa berbaris di sekeliling Bisma dan melindunginya dengan segenap tenaga sehingga meyulitkan Arjuna. Pasukan Korawa menyerang Arjuna yang hendak membunuh Bisma. Kedua belah pihak saling bantai, dan sebagian besar pasukan Korawa gugur di tangan Arjuna. Setelah menyapu seluruh pasukan Korawa, Arjuna dan Bisma terlibat dalam duel sengit. Sementara itu
Drona menyerang
Drestadyumna bertubi-tubi dan mematahkan panahnya berkali-kali.
Bima yang melihat keadaan tersebut menyongsong Drestadyumna dan menyelamatkan nyawanya.
Duryodana mengirim pasukan bantuan dari kerajaan
Kalinga untuk menyerang Bima, namun serangan dari Duryodana tidak berhasil dan pasukannya gugur semua.
Satyaki yang bersekutu dengan Pandawa memanah kusir kereta Bisma sampai meninggal. Tanpa kusir, kuda melarikan kereta Bisma menjauhi medan laga. Di akhir hari kedua, pihak Korawa mendapat kekalahan.
Kesabaran
Kresna habis sehingga ia ingin membunuh
Bisma dengan tangannya sendiri, namun dicegah oleh
Arjuna.
Pada hari ketiga,
Bisma memberi instruksi agar pasukan Korawa membentuk formasi burung elang dengan dirinya sendiri sebagai panglima berada di garis depan sementara tentara
Duryodana melindungi barisan belakang. Bisma ingin agar tidak terjadi kegagalan lagi. Sementara itu para Pandawa mengantisipasinya dengan membentuk formasi bulan sabit dengan
Bima dan
Arjuna sebagai pemimpin sayap kanan dan kiri. Pasukan Korawa menitikberatkan penyerangannya kepada Arjuna. Kemudian kereta Arjuna diserbu oleh berbagai panah dan tombak. Dengan kemahirannya yang hebat, Arjuna membentengi keretanya dengan arus panah yang tak terhitung jumlahnya.
Abimanyu dan
Satyaki menggabungkan kekuatan untuk menghancurkan tentara
Gandara milik
Sangkuni. Bima dan putranya,
Gatotkaca, menyerang Duryodana yang berada di barisan belakang. Panah Bima melesat menuju Duryodana yang menukik di atas keretanya. Kusir keretanya segera membawanya menjauhi pertempuran. Tentara Duryodana melihat pemimpinnya menjauhi pertarungan. Bisma melihat hal tersebut lalu menyuruh agar pasukan bersiap siaga dan membentuk kembali formasi, kemudian Duryodana datang kembali dan memimpin tentaranya. Duryodana marah kepada Bisma karena masih segan untuk menyerang para Pandawa. Bisma kemudian sadar dan mengubah perasaannnya kepada para Pandawa.
Arjuna dan
Kresna mencoba menyerang Bisma. Arjuna dan Bisma sekali lagi terlibat dalam pertarungan yang bengis, meskipun Arjuna masih merasa tega dan segan untuk melawan kakeknya.
Kresna menjadi sangat marah dengan keadaan itu dan berkata, "Aku sudah tak bisa bersabar lagi, Aku akan membunuh Bisma dengan tanganku sendiri," lalu ia mengambil sejata
cakranya dan berlari ke arah Bisma. Arjuna berlari mengejarnya dan mencegah Kresna untuk melakukannya. Kemudian mereka berdua melanjutkan pertarungan dan membinasakan banyak pasukan
Korawa.
[sunting] Hari keempat
Hari keempat merupakan hari dimana
Bima menunjukkan keberaniannya.
Bisma memerintahkan pasukan Korawa untuk bergerak.
Abimanyu dikepung oleh para ksatria Korawa lalu diserang. Arjuna melihat hal tersebut lalu menolong Abimanyu. Bima muncul pada saat yang genting tersebut lalu menyerang para kstria Korawa dengan
gada. Kemudian
Duryodana mengirimkan pasukan gajah untuk menyerang Bima. Ketika Bima melihat pasukan gajah menuju ke arahnya, ia turun dari kereta dan menyerang mereka satu persatu dengan gada baja miliknya. Mereka dilempar dan dibanting ke arah pasukan Korawa. Kemudian Bima menyerang para kesatria Korawa dan membunuh delapan adik Duryodana. Akhirnya ia dipanah dan tersungkur di keretanya.
Gatotkaca melihat hal tersebut, lalu merasa sangat marah kepada pasukan Korawa. Bisma menasehati bahwa tidak ada yang mampu melawan Gatotkaca yang sedang marah, lalu menyuruh pasukan agar mundur. Pada hari itu, Duryodana merasa sedih telah kehilangan saudara-saudaranya.
Saat pertempuran di hari itu berakhir, Duryodana yang diliputi duka dan kekecewaan datang menemui Bisma untuk menanyakan penyebab Pandawa mampu bertahan dan mengalahkan kekuatan pasukan Korawa yang konon amat dahsyat. Bisma menjawab bahwa Pandawa bertindak di bawah panji kebenaran, sehingga lebih baik mengadakan perjanjian damai dengan mereka. Namun Duryodana yang keras kepala tidak mau menuruti nasihat tersebut.
Ilustrasi perang di Kurukshetra dari kitab
Mahabharata.
Pada hari kelima, pertempuran terus berlanjut. Pasukan Pandawa dengan segenap tenaga membalas serangan
Bisma.
Bima berada di garis depan bersama
Srikandi dan
Drestadyumna di sampingnya.
Satyaki berhadapan dengan
Drona dan kesulitan untuk membalas serangannya.
Bima pergi meninggalkan
Srikandi yang menyerang
Bisma. Karena Srikandi berperan sebagai seorang wanita, Bisma menolak untuk bertarung dan pergi. Sementara itu, Satyaki membinasakan pasukan besar yang dikirim untuk menyerangnya. Pertempuran dilanjutkan dengan pertarungan antara
Setyaki melawan
Burisrawa dan kemudian Satyaki kesusahan sehingga berada dalam situasi genting. Melihat hal itu, Bima datang melindungi Satyaki dan menyelamatkan nyawanya. Di tempat lain,
Arjuna bertempur dan membunuh ribuan tentara yang dikirim
Duryodana untuk menyerangnya.
Yudistira menyuruh
Drestadyumna agar membentuk formasi Makara, dengan
Drupada dan
Arjuna sebagai pemimpin garis depan. Untuk menandingi kekuatan Yudistira,
Bisma menginstruksikan agar pasukan Korawa membentuk formasi burung bangau, dengan
Balhika dan angkatan perangnya sebagai pemimpin garis depan.
Bima bertarung melawan
Drona dengan sengit. Bima memanah kusir kereta Drona sehingga tewas seketika. Drona mengambil alih kedudukan kusirnya, lalu menghancurkan sebagian besar pasukan Pandawa. Serangan Drona dihadapi oleh
Drestadyumna. Sementara itu, Bima melancarkan serangan ke garis pertahanan yang terdiri dari putra-putra
Dretarastra, yaitu:
Dursasana, Durwisaha, Dursaha, Durmada, Jaya, Jayasena, Wikarna, Citrasena, Sudarsana, Carucitra, Duskarna, Karna (Karna adik Duryodana, bukan
Karna sahabat Duryodana). Mereka semua mengepung Bima dari segala penjuru. Bima meloncat turun dari keretanya sambil membawa
gada. Di tengah pasukan musuh, Bima mengamuk sehingga pasukan Korawa kacau-balau. Melihat Bima dalam bahaya, Drestadyumna segera meninggalkan Drona dengan maksud membantu Bima. Dengan bantuan Drestadyumna, Bima menghancurkan pasukan Korawa dengan lebih mudah.
Setelah menyaksikan Bima dalam bahaya, Yudistira mengirim
Abimanyu untuk membantu pamannya tersebut. Abimanyu melawan para putra Dretarastra, sementara
Duryodana dihadapi oleh lima putra
Dropadi, yaitu
Pratiwindya,
Sutasoma,
Srutakarma,
Satanika, dan
Srutakirti. Menjelang sore hari, Bisma masih mengamuk menghancurkan pasukan Pandawa. Akhirnya, matahari terbenam dan seluruh pasukan ditarik mundur pada malam hari itu.
[sunting] Hari ketujuh
Pada hari ketujuh, pasukan Korawa di bawah instruksi
Bisma membentuk formasi Mandala. Untuk mengantisipasinya,
Yudistira menginstruksikan agar pasukan Pandawa membentuk formasi Bajra.
Arjuna berhasil merusak formasi Mandala, sehingga Bisma maju untuk menghadapinya. Sementara itu, Drona bertarung menghadapi
Wirata Raja
Matsya. Dengan serangan panahnya, Drona membuat kereta perang Wirata lumpuh. Kemudian Wirata meloncat dari keretanya untuk berpindah ke kereta Sangka, putranya. Meskipun Wirata dan Sangka sudah menggabungkan kekuatan, namun Drona masih tak terkalahkan. Sebaliknya, Drona berhasil menembakkan empat batang panah penembus
baju zirah ke arah Sangka. Panah tersebut bersarang di dada Sangka, kemudian merenggut nyawanya.
Sementara itu,
Satyaki bertarung menghadapi raksasa Alambusa, sedangkan
Drestadyumna menghadapi
Duryodana. Satyaki berhasil mengalahkan raksasa Alambusa, sementara Drestadyumna berhasil melukai tubuh Duryodana dengan tujuh anak panah. Kemudian panah-panah menembus tubuh kuda dan kusir kereta Duryodana sehingga kendaraan tersebut lumpuh. Duryodana meloncat dari keretanya lalu diselamatkan oleh pamannya,
Sangkuni dari
Gandhara. Di tempat lain,
Srikandi maju menghadapi Bisma. Bisma tidak menghiraukan Srikandi karena kesatria tersebut bersifat kewanitaan, sehingga ia lebih memilih menghancurkan pasukan Srinjaya, sekutu Pandawa.
Pada hari tersebut, para kesatria Korawa lebih banyak menderita kekalahan dibandingkan pihak Pandawa. Hal tersebut membuat
Dretarastra, ayah para Korawa merasa sedih.
Sanjaya, penasihat Dretarastra mengatakan bahwa ia tidak perlu bersedih sebab kehancuran putra-putranya disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri. Sanjaya menambahkan, bahwa kematian para kesatria yang gugur di medan perang akan membuka jalan surga bagi mereka.
[sunting] Hari kedelapan
Pada hari kedelapan,
Bima membunuh delapan putera
Dretarastra, yaitu: Sunaba, Adityaketu, Wahwasin, Kundadara, Mahodara,
Aparajita, Panditaka dan Wisalaksa. Sunaba, Adityaketu,
Aparajita dan Wisalaksa gugur dengan kepala terpenggal, sedangkan yang lainnya gugur karena senjata panah yang diluncurkan Bima. Setelah menyaksikan kematian mereka, Duryodana memerintahkan para saudaranya yang masih hidup untuk membunuh Bima. Namun tak satu pun putra
Dretarastra yang berani maju menghadapi Bima setelah mereka menyaksikan kematian delapan saudaranya.
Sementara itu,
Sangkuni putra Subala, dengan didampingi oleh putra Hredika dari kerajaan Satwata, menyerbu pasukan Pandawa. Pasukan penyerbu tersebut merupakan kavaleri gabungan dari berbagai
kerajaan di India, seperti
Kamboja,
Sindhu, Mahi, Aratta, dll. Untuk menandinginya,
Irawan putra Arjuna maju ke medan laga sambil membawa
pasukan berkuda dalam jumlah besar. Dengan pedang dan panah, Irawan berhasil membunuh para saudara Sangkuni, kecuali Wresaba.
Setelah pasukan putra Subala kacau balau,
Duryodana mengirim raksasa
Alambusa untuk membunuh Irawan. Kemudian, terjadilah pertempuran sengit antara Irawan melawan Alambusa. Keduanya sama-sama menggunakan kekuatan sihir, sama-sama sakti dan saling menghancurkan. Saat Irawan memunculkan seekor naga raksasa, Alambusa menanggapinya dengan menjelma menjadi seekor burung
garuda raksasa. Burung siluman tersebut berhasil membunuh naga siluman yang dipanggil Irawan. Hal itu membuat Irawan terpaku menyaksikan kekalahannya. Pada saat itu juga, Alambusa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memenggal leher Irawan.
[sunting] Hari kesembilan
Pada hari kesembilan,
Abimanyu putra
Arjuna menghancurkan laskar Korawa sambil mengamuk. Para kesatria terkemuka di pihak Korawa tidak mampu menghadapinya, karena seolah-olah Abimanyu merupakan Arjuna yang kedua. Melihat prajuritnya tercerai-berai,
Duryodana memutuskan untuk mengirim raksasa
Alambusa, putra Resyasringga. Raksasa tersebut menuruti perintah Duryodana. Ribuan prajurit Pandawa mati di tangannya, sehingga lima putra
Dropadi bertindak. Mereka mencoba menahan serangan raksasa tersebut, namun tidak berhasil. Sebaliknya, justru nyawa mereka yang terancam. Setelah melihat para saudara tirinya sedang terancam, Abimanyu segera datang membantu mereka sekaligus menghadapi raksasa Alambusa. Tak lama kemudian, terjadilah pertempuran sengit antara Abimanyu melawan raksasa Alambusa. Dengan kemahirannya menggunakan senjata panah, Abimanyu berhasil mengalahkan Alambusa sehingga raksasa tersebut turun dari keretanya sambil melarikan diri karena kesakitan.
Setelah Alambusa mengalami kekalahan,
Bisma segera menghadapi Abimanyu. Dengan dikawal oleh para kesatria tangguh dari pihak Korawa, Bisma maju menerjang Abimanyu. Pada saat itu juga, Arjuna datang membantu Abimanyu. Kemudian
Krepa menyerang Arjuna sehingga terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. melihat keadaan tersebut,
Satyaki datang membantu Arjuna.
Aswatama putra
Drona, datang membantu Krepa dengan meluncurkan panah-panahnya. Namun ternyata Satyaki mampu bertahan, bahkan membalas serangan Aswatama secara bertubi-tubi. Setelah Aswatama lelah menghadapinya, Drona muncul untuk membantu putranya tersebut. Sedangkan dari pihak Pandawa, Arjuna maju membantu Satyaki. Tak lama kemudian, terjadilah pertempuran sengit antara Arjuna melawan Drona. Meskipun demikian, baik Arjuna maupun Drona mampu bertahan hidup sebab mereka sama-sama sakti.
Kemudian,
Kresna mengingatkan Arjuna untuk segera membunuh Bisma. Maka dari itu, Arjuna segera memerintahkan Kresna untuk menjalankan keretanya menuju Bisma. Saat menghadapi Bisma, Arjuna masih segan untuk mengerahkan seluruh kemampuannya, sehingga pertarungan terlihat tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Melihat keadaan itu, Kresna menjadi marah. Ia turun dari keretanya sambil membawa cemeti dengan tujuan membunuh Bisma. Bisma tidak mengelak saat melihat tindakan Kresna. Sebaliknya, ia ikhlas apabila nyawanya melayang di tangan Kresna. Menanggapi hal tersebut, Arjuna segera meloncat dari keretanya, lalu memeluk kaki Kresna untuk menghentikan gerakan Kresna. Sekali lagi, Arjuna memohon agar Kresna meredam amarahnya. Kresna hanya diam setelah mendengar permohonan Arjuna. Kemudian mereka kembali menaiki kereta untuk melanjutkan peperangan.
[sunting] Hari kesepuluh
Lukisan Bisma yang tidur di ranjang panah menjelang kematiannya. Sebuah koleksi dari
Institusi Smithsonian.
Lukisan Bisma saat sekarat, sedang berbaring dengan tubuh ditancapi ratusan panah. Lukisan diambil dari kitab
Razmnama, atau
Mahabharata versi
Persia.
Pada hari kesepuluh,
Pandawa yang merasa tidak mungkin untuk mengalahkan
Bisma menyusun suatu strategi. Mereka berencana untuk menempatkan
Srikandi di depan kereta
Arjuna, sementara Arjuna sendiri akan menyerang
Bisma dari belakang Srikandi. Srikandi dipilih sebagai tameng Arjuna sebab ia merupakan seorang wanita yang berganti kelamin menjadi pria, dan hal itu membuat Bisma enggan menyerang Srikandi. Disamping itu, Srikandi merupakan
reinkarnasi Amba, wanita yang mati karena perasaannya disakiti oleh Bisma, dan bersumpah akan terlahir kembali sebagai pembunuh Bisma yang menjadi penyebab atas penderitaannya.
Srikandi menyerang Bisma, namun Bisma tidak menghiraukan serangannya. Sebaliknya, ia malah tertawa, sebab ia tahu bahwa kehadiran Srikandi merupakan pertanda buruk yang mampu mengantarnya menuju takdir kekalahan. Bisma juga tahu bahwa ia ditakdirkan gugur karena Srikandi, maka dari itu ia merasa sia-sia untuk melawan takdirnya. Bisma yang tidak tega untuk menyerang Srikandi, tidak bisa menyerang Arjuna karena tubuh Srikandi menghalanginya. Hal itu dimanfaatkan Arjuna untuk mehujani Bisma dengan ribuan panah yang mampu menembus
baju zirahnya. Ratusan panah yang ditembakkan Arjuna menembus tubuh Bisma dan menancap di dagingnya.
Bisma terjatuh dari keretanya, namun badannya tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh panah-panah yang menancap di tubuhnya. Setelah Bisma jatuh, pasukan
Pandawa dan
Korawa menghentikan pertarungannya sejenak lalu mengelilingi Bisma. Bisma menyuruh Arjuna untuk meletakkan tiga anak panah di bawah kepalanya sebagai bantal. Kemudian, Bisma meminta dibawakan air. Tanpa ragu, Arjuna menembakkan panahnya ke tanah, lalu menyemburlah air dari tanah ke mulut Bisma. Meskipun tubuhnya ditancapi ratusan panah, Bisma masih mampu bertahan hidup sebab ia diberi anugrah untuk bisa menentukan waktu kematiannya sendiri. Dalam keadaan seperti itu, ia memberi wejangan kepada para cucunya yang melakukan peperangan. Meskipun sudah tak berdaya, Bisma mampu hidup selama beberapa hari sambil menyaksikan kehancuran pasukan Korawa.
[sunting] Hari kesebelas
Setelah kekalahan Bisma pada hari kesepuluh,
Karna memasuki medan laga dan melegakan hati
Duryodana. Ia mengangkat
Drona sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Karna dan Duryodana berencana untuk menangkap
Yudistira hidup-hidup. Membunuh Yudistira di medan laga hanya membuat para Pandawa semakin marah, sedangkan dengan adanya Yudistira para Pandawa mendapatkan strategi perang. Drona membantu Karna dan Duryodana untuk menaklukkan Yudistira. Ia memanah busur Yudistira hingga patah. Para Pandawa cemas karena Yudistira akan menjadi tawanan perang. Melihat hal itu,
Arjuna turun tangan dan menghujani Drona dengan panah dan menggagalkan rencana Duryodana.
[sunting] Hari kedua belas
Setelah menerima kegagalan,
Drona yakin bahwa rencana untuk menaklukkan Yudistira sulit diwujudkan selama Arjuna masih ada. Raja
Trigarta — Susarma — bersama dengan 3 saudaranya dan 35 putera mereka berada di pihak Korawa dan mencoba untuk membunuh Arjuna atau sebaliknya, gugur di tangan Arjuna. Mereka turun ke medan laga pada hari kedua belas dan langsung menyerbu Arjuna. Namun mereka tidak berhasil sehingga gugur satu persatu. Semakin hari kekuatan para Pandawa semakin bertambah dan memberikan pukulan yang besar kepada pasukan Korawa.
[sunting] Hari ketiga belas
Ukiran di Kuil Hoysaleswara (
Halebid,
India), yang menggambarkan
Abimanyu saat terkurung dalam formasi Cakrabyuha.
Duryodana memanggil
Bhagadatta, Raja
Pragjyotisha (di zaman sekarang disebut
Assam, sebuah wilayah di
India). Bhagadatta merupakan putera dari
Narakasura, raja yang dibunuh oleh
Kresna beberapa tahun sebelumnya. Bhagadatta memiliki ribuan gajah yang berukuran sangat besar sebagai kekuatan pasukannya, dan ia dianggap sebagai kesatria terkuat di antara seluruh kesatria penunggang
gajah pada zamannya. Bhagadatta menyerang Arjuna dengan mengendarai gajah raksasanya yang bernama Supratika. Pertempuran antara Arjuna melawan Bhagadatta terjadi dengan sangat sengit.
Saat Arjuna sibuk dalam pertarungan yang sengit, di tempat lain, empat
Pandawa sulit mematahkan formasi
Cakrabyuha yang disusun
Drona.
Yudistira melihat hal tersebut dan menyuruh
Abimanyu, putera Arjuna, untuk merusak formasi Cakrabyuha, sebab Yudistira tahu bahwa hanya Arjuna dan Abimanyu yang bisa mematahkan formasi tersebut. Saat Abimanyu memasuki formasi tersebut, empat Pandawa melindunginya di belakang. Namun, keempat Pandawa dihadang
Jayadrata sehingga Abimanyu memasuki formasuki Cakrabyuha tanpa perlindungan. Akhirnya, Abimanyu dikepung oleh para kesatria Korawa, lalu terbunuh oleh serangan serentak.
Menjelang akhir hari kedua belas, setelah melalui pertarungan yang sengit, akhirnya Bhagadatta dan Susarma gugur di tangan Arjuna. Sementara itu, Abimanyu gugur karena terjebak dalam formasi
Cakrabyuha. Setelah mengetahui kematian putranya, Arjuna marah pada Jayadrata yang menghalangi usaha para Pandawa untuk melindungi Abimanyu. Ia bersumpah akan membunuh Jayadrata pada hari keempat belas. Ia juga bersumpah bahwa jika ia tidak berhasil melakukannya sampai matahari terbenam, ia akan membakar dirinya sendiri.
[sunting] Hari keempat belas
Saat berusaha mencari Jayadrata di medan pertempuran, Arjuna menghancurkan satu
aksauhini (109.350 tentara) prajurit Korawa. Pasukan Korawa melindungi
Jayadrata dengan baik, untuk mencegah Arjuna menyerangnya. Akhirnya, menjelang sore, Arjuna mendapati bahwa Jayadrata dikawal oleh
Karna dan lima kesatria perkasa lainnya. Setelah melihat keadaan temannya,
Kresna mengangkat
Sudarsana Cakra-nya untuk menutupi matahari, menipu seolah-olah matahari terbenam. Seluruh prajurit menghantikan pertempuran karena merasa bahwa siang hari telah berakhir. Dengan demikian, Jayadrata tanpa perlindungan. Saat matahari menampakkan sinar terakhirnya di hari tersebut, Arjuna menembakkan panah dahsyatnya yang kemudian memenggal kepala Jayadrata.
Pertempuran berlanjut setelah matahari terbenam. Saat bulan tampak bersinar,
Gatotkaca, putra
Bima membunuh banyak kesatria, dan menyerang lewat udara. Karna menghadapinya lalu mereka bertarung dengan sengit, sampai akhirnya Karna mengeluarkan Indrastra, sebuah senjata surgawi yang diberikan kepadanya oleh Dewa
Indra. Gatotkaca yang menerima serangan tersebut lalu memperbesar ukuran tubuhnya. Ia gugur seketika kemudian jatuh menimpa ribuan prajurit Korawa.
[sunting] Hari kelima belas
Sebuah lukisan dari
Himachal Pradesh,
India. Di sini digambarkan Arjuna dan pasukannya (kiri) menghadapi Karna dan pasukannya (kanan).
Setelah Raja
Drupada dan Raja
Wirata dibunuh oleh
Drona,
Bima dan
Drestadyumna bertarung dengannya di hari kelima belas. Karena Drona amat kuat dan memiliki brahamastra (senjata ilahi) yang tak terkalahkan, Kresna memberi isyarat pada Yudistira bahwa Drona akan menyerah apabila
Aswatama – putranya – gugur dalam perang tersebut. Kemudian Bima membunuh seekor gajah bernama Aswatama, dan berteriak dengan keras bahwa Aswatama gugur.
Drona mendekati
Yudistira untuk mencari kepastian tentang kematian putranya. Yudistira berkata
"Ashwathama Hatha Kunjara", namun dua kata terakhir
"Hatha Kunjara" yang menerangkan bahwa seekor gajah telah mati, tidak terdengar karena kegaduhan bunyi genderang dan terompet atas perintah Kresna (versi yang berbeda menyebutkan bahwa Yudistira melafalkan kata-kata terakhir tersebut dengan sangat pelan sehingga Drona tidak mendengar kata "gajah"). Sebelum peristiwa tersebut, kereta perang Yudistira, yang disebut
Dharmaraja (Raja Kebenaran), melayang beberapa inci dari tanah. Setelah peristiwa tersebut, keretanya menyentuh tanah. Setelah menduga bahwa putranya telah tiada, Drona merasa berdukacita, dan menjatuhkan senjatanya. Kemudian ia dibunuh oleh
Drestadyumna untuk membalaskan dendam ayahnya sekaligus melaksanakan sumpahnya.
Setelah perang di hari itu berakhir,
Kunti (ibu para
Pandawa) secara rahasia pergi menemui
Karna, putra yang dibuangnya, dan memintanya untuk mengampuni nyawa para Pandawa, karena mereka adalah adiknya. Karna berjanji pada Kunti bahwa ia akan mengampuni nyawa para Pandawa, kecuali
Arjuna.
Ilustrasi pertarungan sengit antara Arjuna melawan Karna.
[sunting] Hari keenam belas
Pada hari keenam belas,
Karna menjadi panglima tertinggi pasukan Korawa. Ia membunuh banyak prajurit pada hari itu. Sebuah pertempuran sengit terjadi antara Arjuna melawan Karna. Bahkan
Kresna memuji Karna atas keberaniannya. Akhirnya Karna berhasil memutuskan tali busur Arjuna. Tepat saat Karna akan membunuh Arjuna, matahari terbenam. Karena memperhatikan peraturan peperangan, Karna mengampuni nyawa Arjuna.
Ada versi berbeda mengenai akhir hari kedelapan belas. Diceritakan bahwa Karna bertempur dengan gagah berani meski dikelilingi para jendral pasukan Pandawa. Mereka semua tidak mampu melawannya. Karna memberi serangan mematikan pada pasukan Pandawa sehingga mereka melarikan diri. Kemudian Arjuna berhasil mematahkan senjata Karna dengan senjatanya sendiri, dan juga memberikan serangan mematikan pada pasukan Korawa. Tak lama kemudian matahari terbenam, dan karena kegelapan dan debu membuat pertempuran berlangsung dengan sulit, maka pasukan Korawa ditarik mundur, dengan tujuan menghindari pertempuran di malam hari.
[4]
[sunting] Hari ketujuh belas
Karna mendorong roda keretanya yang terperosok ke dalam lumpur pada saat perang
Baratayuda. Peristiwa ini terjadi sesaat menjelang kematiannya di tangan
Arjuna.
Pada hari ketujuh belas,
Karna mengalahkan
Bima dan
Yudistira dalam pertempuran, namun nyawa mereka diampuni. Kemudian, Karna melanjutkan pertarungannya melawan
Arjuna. Saat bertarung, roda kereta Karna terperosok ke dalam lumpur sehingga Karna meminta izin untuk menghentikan pertarungan sejenak. Melihat kesempatan tersebut,
Kresna mengingatkan Arjuna tentang sikap Karna yang tidak berbelas kasihan pada
Abimanyu saat Abimanyu terbunuh setelah kehilangan senjata dan keretanya. Terungkitnya kenangan pahit tersebut membuat hati Arjuna perih kembali. Kemudian, Arjuna menembakkan panahnya untuk memenggal Karna, pada saat Karna berusaha mengangkat roda keretanya yang terprosok ke dalam lumpur. Pada hari yang sama, Bima menghancurkan kereta
Dursasana dengan gadanya. Bima menangkap Dursasana lalu membunuhnya, sehingga terpenuhilah sumpah yang dibuatnya saat
Dropadi dipermalukan.
[sunting] Hari kedelapan belas
Pada hari kedelapan belas,
Salya Raja
Madra diangkat sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa, menggantikan posisi
Karna. Pada hari itu juga,
Yudistira membunuh Raja
Salya,
Sadewa membunuh
Sangkuni, dan
Bima membunuh para adik Duryodana yang masih bertahan. Setelah sadar bahwa ia telah dikalahkan,
Duryodana lari dari medan pertempuran lalu beristirahat di sebuah danau. Ahirnya para Pandawa berhasil menangkapnya. Di bawah pengawasan
Baladewa, pertandingan gada berlangsung antara Bima melawan Duryodana, dimana akhirnya Duryodana mengalami kekalahan.
Aswatama,
Krepa, dan
Kertawarma bertemu
Duryodana pada saat kesatria tersebut sedang sekarat. Mereka berjanji akan membalaskan dendamnya. Kemudian pada malam hari, mereka menyerang perkemahan para Pandawa, lalu membunuh lima putra Pandawa (
Pancawala),
Drestadyumna dan
Srikandi.
[sunting] Akhir peperangan
Hanya sepuluh kesatria yang bertahan hidup dari pertempuran, mereka adalah:
Lima Pandawa,
Yuyutsu,
Satyaki,
Aswatama,
Krepa dan
Kertawarma. Aswatama ditangkap oleh para Pandawa setelah ia melakukan pembunuhan di malam hari kedelapan belas, saat sekutu Pandawa sedang tidur. Krepa kembali ke Hastinapura, sedangkan Kertawarma ke kediaman Wangsa Yadu. Akhirnya, Yudistira dinobatkan sebagai Raja
Hastinapura. Setelah memerintah selama beberapa lama, Yudistira menyerahkan tahta kepada cucu Arjuna,
Parikesit. Kemudian, ia bersama Pandawa dan
Dropadi mendaki gunung
Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka. Dropadi dan empat Pandawa, kecuali Yudistira, meninggal dalam perjalanan. Akhirnya Yudistira berhasil mencapai puncak Himalaya, dan dengan ketulusan hatinya, oleh anugerah
Dewa Dharma ia diizinkan masuk
surga sebagai seorang manusia.
[sunting] Perkiraan kapan terjadinya perang
Para sarjana berusaha mencari tahu pada tahun berapa sebenarnya perang di Kurukshetra terjadi. Mereka menggunakan catatan dalam Mahābhārata, memperhitungkan posisi benda langit, menggunakan sistem kalender, bahkan sampai melakukan analisa radiokarbon. Hasil perhitungan mereka sebagai berikut
[5]:
- Dr. S. Balakrishna menyatakan bahwa perang tersebut terjadi tahun 2559 SM dengan memperhitungkan gerhana bulan.
- Prof. I.N. Iyengar memperkirakan perang tersebut terjadi tahun 1478 SM dengan memperhitungkan gerhana dan garis lurus planet Saturnus+Jupiter.
- Dr. B.N. Achar menyatakan bahwa perang tersebut terjadi tahun 3067 SM dengan memperhitungkan posisi planet-planet yang dicantumkan dalam Mahabharata.
- Shri P.V. Holey yakin bahwa perang tersebut terjadi tanggal 13 November tahun 3143 SM dengan memperhitungkan posisi planet dan sistem kalender.
- Dr. P.V.Vartak mengatakan bahwa perang tersebut terjadi tanggal 16 Oktober tahun 5561 SM dengan memperhitungkan posisi planet.[6]
Beberapa sarjana memperkirakan usia perang di Kurukshetra tidak setua yang diperkirakan oleh sarjana di atas. John L Brockington memperkirakan perang tersebut sangat mungkin terjadi 900 SM.
[7] Pertempuran Sepuluh Raja, pertempuran antara Raja Bharata bernama
Sudas dan perserikatan sepuluh suku yang muncul dalam
Rgveda, dipercaya sebagai asal mula mitologi perang di Kurukshetra terjadi.
[8] Beberapa arkeolog India mencoba mencari tahu kapan sebenarnya perang di Kurukshetra terjadi, seperti penelitian belanga yang ditemukan di Ganges. Penelitian radiokarbon menunjukkan artifak tersebut berasal dari periode 800 - 350 SM
[9]