Selasa, 02 November 2010

FILOSOFI JAWA

Dulu petuah orang tua atau orang bijak selalu teringat waktu ngumpul atau kita berhadapan dengan orang tua, baik orang berkelas atau orang biasa, dalam situasi resmi atau pun dalam keadaan biasa. Kita dulu  selalu  pasrah mendengar karena kita masih anak-anak / muda  dan itu cerita akan menjadi berkembang dan semakin lama. Kita akan tahu banyak arti dari kalimat – kalimat itu yang semakin mendalam dan kalau mendengar itu terbuka hatinya dia akan menemukan manfaat yang banyak. Di bawah ini mungkin bisa mengingatkan saya kembali kalimat kalimat dulu saya sering dengar sekarang hal itu jarang lagi terdengar, mungkin juga bisa bermanfaat bagi yang lain.
Saat ini kebudayaan Jawa, terutama Filsafat Jawa hampir hilang dari kehidupan masyarakat. Kehidupan kita yang cenderung “western” telah mengabaikan filsafat- filsafat Jawa tersebut. Padahal dalam filsafat-filsafat tersebut mengandung ajaran “adiluhung” yang sangat
berguna bagi kehidupan masyarakat.
Filsafat Jawa pada dasarnya
bersifat universal. Jadi filsafat Jawa bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat Jawa saja, tetapi juga bagi siapapun yang ingin mempelajarinya. Beberapa filsafat jawa yang biasa :
Ojo Rumongso Biso, Nanging Biso Rumongso
Ketika kita memperoleh suatu pengetahuan, ilmu, atau pengalaman terkadang muncul sifat sombong dari diri kita. Bahwa kita dapat menyelesaikan suatu masalah dengan ilmu atau pengalaman yang kita peroleh. Padahal banyak faktor yang menentukan penyelesaian suatu masalah dan bukan hanya dari sudut pandang yang kita pahami. Di sini orang lantas merasa bisa, sifat ego manusia yang muncul tanpa menghiraukan pendapat orang lain.
Dalam filosofi Jawa, sifat ini yang dinamakan Rumongso Biso (merasa bisa). Ajaran masyarakat Jawa menekankan untuk dapat melakukan koreksi ke dalam, sehingga tidak terdorong untuk menghujat atau merendahkan orang lain. Cobalah untuk memahami pendapat yang lain, walau hal itu mungkin sangat bertentangan dengan yang kita yakini. Dengan Biso Rumongso (bisa merasa) atau melatih empati kita untuk memahami orang lain akan mendorong untuk berkompromi mencapai suatu keseimbangan. Hal ini akan membuat semua perselisihan atau konflik yang ada di dunia ini dapat teratasi. Janganlah menjadi orang yang merasa bisa, melainkan yang bisa merasa.
MigunanuTumraping Liyan
“Sekecil apapun kebaikan yang kita perbuat bisa bermakna besar bagi orang lain. Berguna bagi sesama membuat hidup lebih berarti”. Itulah tulisan yang terdapat di iklan poster koran Kedaulatan Rakyat. Koran lokal Jogja ini mengambil filosofi Jawa yang maknanya mendalam. Berguna bagi sesama, itulah kurang lebih artinya.
Terkadang kita merasa belum siap untuk berbuat baik, karena kita berpikiran bahwa kita belum mampu secara materi atau merasa perbuatan kita itu tidak berdampak banyak bagi orang yang membutuhkan. Atau ketika kita sudah terjerumus dalam ego kita, yang mempertimbangkan untung rugi setiap perbuatan, melupakan kenyataan bahwa semua ciptaan dunia ini merupakan suatu kesatuan, sehingga kesetiaan kita berpindah ke kelompok yang lebih kecil, seperti komunitas lingkungan, keluarga, gender, ras. Di luar itu kita tidak peduli.
Memberi dari kekurangan kita, lebih bermakna daripada memberi dari kelebihan kita.. Sekecil apapun kebaikan yang kita perbuat bisa bermakna besar bagi orang lain.
Eling Sangkan Paraning Dumadhi.
Tinggal di Jawa, terutama di Solo paling tidak kita berusaha untuk mengerti budaya dan kearifan lokal yang ada. Hal ini sebagai proses penempatan diri dalam komunitas yang ada. Salah satunya yaitu tentang filosofi orang Jawa. Ada banyak filosofi yang digali dalam budaya Jawa. Salah satunya adalah ungkapan Eling Sangkan Paraning Dumadhi.
Dalam pergaulan masyarakat Jawa terutama kalangan generasi tua, ungkapan yang arif ini sangat terkenal. Secara bebas diartikan sebagai ingat akan asal dan tujuan hidup. Ungkapan ini mengandung nasihat agar seseorang selalu waspada dan eling (ingat, sadar) terhadap sangkan (asal) manusia dan paran (tujuan akhir).
Dengan sadar dan waspada dalam perjalanan hidupnya, ia akan mampu meredam emosi, nafsu, ikatan ikatan duniawi dan berupaya untuk bertindak lebih baik, karena ia memiliki tujuan akhir yang jelas, yaitu sowan ngarsaning Gusti (menghadap ke hadirat Tuhan)
Ungkapan Eling Sangkan Paraning Dumadhi dijadikan sebagai pengendali sewaktu seseorang melakukan perbuatan negatif. Selain itu dapat juga dimanfaatkan untuk meluruskan dan membesarkan hati ketika terkena beban hidup, sakit, kekecewaan, patah hati, ketidakbahagiaan. Upaya pelurusan ini untuk penyadaran akan sangkan (asal) dan paran (tujuan) hidupnya.
  • Urip Iku Urup (Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik, tapi sekecil apapun manfaat yang dapat kita berikan, jangan sampai kita menjadi orang yang meresahkan masyarakat).
  • Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara (Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).
  • Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti (segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar)
  • Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha (Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan)
  • Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan (Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).
  • Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman (Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut-kejut; Jangan mudah kolokan atau manja).
  • Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman (Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).
  • Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka (Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah; jangan suka berbuat curang agar tidak celaka).
  • Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo (Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat).
  • Aja Adigang, Adigung, Adiguna (Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti).
  • Alon-alon waton klakon
    Filosofi ini sebenarnya berisikan pesan tentang safety. Padahal kandungan maknanya sangat dalam. Filosofi ini mengisyaratkan tentang kehati-hatian, waspada, istiqomah, keuletan, dan yang jelas tentang safety.
  • Nrimo ing pandum
    Arti yang mendalam menunjukan pada sikap Kejujuran, keiklasan, ringan dalam bekerja dan ketidakinginan untuk korupsi. Inti filosofi ini adalah Orang harus iklas menerima hasil dari usaha yang sudah dia kerjakan.
  • Saiki jaman edan yen ora edan ora komanan, sing bejo sing eling lan waspodo.
    Hanya orang yang ingat kepada Allah (disini saja juga tidak cukup) dan waspada terhadap duri-duri kehidupan yang setiap saat bisa datang dan menghujam kehidupan, sehingga bisa mengakibatkan musibah yang berkepanjangan.
  • Mangan ora mangan sing penting ngumpul’
    ‘Makan tidak makan yang penting kumpul’. Filosofi ini adalah sebuah peribahasa. Kalimat peribahasa tidaklah tepat kalau diartikan secara aktual. Filosofi ini sangat penting bagi kehidupan berdemokrasi. Kalau bangsa kita mendasarkan demokrasi dengan falsafah diatas saya yakin negara kita pasti akan aman, tentram dan sejahtera.’Mangan ora mangan’ melambangkan eforia demokrasi, yang mungkin satu pihak mendapatkan sesuatu (kekuasaan) dan yang lain pihak tidak. Yg tdk dapat apa-apa tetap legowo. ‘Sing penting ngumpul’ melambangkan berpegang teguh pada persatuan, yang artinya bersatu untuk tujuan bersama.
    Saya pikir Filosofi ‘Mangan ora mangan sing penting kumpul’ adalah
    filosofi yang cocok yang bisa mendasari kehidupan demokrasi bangsa
    Indonesia agar tujuan bangsa ini tercapai.
  • Wong jowo ki gampang di tekuk-tekuk.
    Filosofi ini juga berupa ungkapan peribahasa yang dalam bahasa Indonesia adalah ‘Orang Jawa itu mudah ditekuk-tekuk’.
    Ungkapan ini menunjukan fleksibelitas dari orang jawa dalam kehidupan. Kemudahan bergaul dan kemampuan hidup di level manapun baik miskin, kaya, pejabat atau pesuruh sekali pun. Orang yang memegang filosofi ini akan selalu giat bekerja dan selalu ulet dalam meraih cita-citanya.
- Memayu hayuning bawana (melindungi bagi kehidupan dunia)
- Sukeng tyas yen den hita (suka/bersedia menerima nasihat, kritik, tegoran)
- Jer basuki mawa beya (keberhasilan seseorang diperoleh dengan pengorbanan)
- Ajining dhiri dumunung ing kedhaling lathi (nilai diri seseorang terletak pada gerak lidahnya)
- Ajining sarira dumunung ing busana (nilai badaniah seseorang terletak pada pakaiannya)
- Amemangun karyenak tyasing sesama (membuat enaknya perasaan orang lain)
- Kridhaning ati ora bisa mbedhah kuthaning pasthi (Gejolak jiwa tidak bisa merubah kepatian)
- Budi dayane manungsa ora bisa ngungkuli garise Kang Kuwasa (Budi daya manusia tidak bisa mengatasi takdir Yang Maha Kuasa)
- Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti (kemarahan dan kebencian akan terhapus/hilang oleh sikap lemah lembut)
- Tan ngendhak gunaning janma (tidak merendahkan kepandaian manusia)
Masih banyak filsafat-filsafat jawa yang lain. Satu hal yang harus diingat, mempelajari kebudayaan suatu daerah bukan berarti kita menjadi “rasis” atau fanatik kedaerahan, namun itu semua sebagai wujud pertanggung jawaban kita terhadap peninggalan nenek moyang bangsa kita. Dan juga melestarikan kebudayan daerah bukan hanya menjadi tanggung jawab warga daerah tersebut. Tetapi juga menjadi tanggung jawab kita semua.. (ingat semboyan bangsa kita “Bhineka Tunggal Ika”…..)
Bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang hidup modern, tetapi juga bangsa yang mampu hidup modern tanpa meninggalkan ajaran dan nilai luhur kebudayaannya.
Refrenensi
http://fauzanjs.multiply.com
http://margo89.blogspot.com
http://sastroyuwono.blogspot.com
namararina.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar