Jumat, 15 Oktober 2010

Cupu manik astogino

beralaskan kembang kembang mekar. Bangun dipangkuan cahaya bintang. Anak anak manusia ini selalu menjadikan hidupnya adalah ucapan syukur bersama kicauan burung yang berterima kasih pada kehangatan alam. Dalam jagad raya itu, sang surya menjadi mata dari malam. “Putriku, benda ajaib ini adalah Cupu Manik Astagina, yang merupakan air kehidupan yang berasal dari permata permata mendung. Dalam air kehidupan itulah berada jagad raya sebelum dirusak oleh dosa manusia, di dalam air kehidupan itu jiwa jiwa ilahi hidup dalam keseimbangan serupa keindahan aneka warna. Itulah sebabnya kau tidak mendengar jeritan manusia atau kicauan burung atau gaung suara serigala yang merindukan sesuatu yang belum dimilikinya”.
 “Romo …, tapi kenapa kami mesti menjadi kera, dimana keadilan di jagad raya ini ?”
Oh Dunia, bersinarlah karena penderitaan anak anaku ini. Teguklah air mata mereka, supaya kau mendapat berkah dari padanya. Air mata mereka adalah keheningan yang ingin menghampirimu. Berjalanlah bersama kesedihan anak anakku ini, dan janganlah kau takut, karena mereka tak akan membakarmu dengan api kemarahan, melainkan akan mendinginkanmu dengan sedu sedannya.
“Anakku, kera adalah titah yang merindukan kesempurnaan manusia. Ia paling dekat pada bentuk seorang manusia. Untuk itulah, ia selalu berprihatin, supaya lekas diangkat kesempurnaanya. Janganlah kau anggap itu semuanya sebagai ketidak adilan, tetapi rasakanlah sebagai kerinduan akan kesempurnaan. Dan berbahagialah kau,  Anakku, karena kerinduan itulah yang  menciptakan kerendahan hati dan memberi harapan akan sesuatu yang belum dimilki yaitu kesempurnaan. Lebih berbahagia kamu daripada mereka yang sudah berada dalam kepenuhan akan kesempurnaan tapi kemudian mencampakkan kepenuhan itu kepada dosa dosa yang diperbuatnya”
“Anakku, kau mengira hanya dengan budimu kau dapat mencapai kebahagiaan yang abadi. Kau lupa bahwa hanya dengan pertolongan yang Ilahi, baru kau dapat mencapai cita cita mulia. Manusia memang terlalu percaya pada kesombongannya, lupa bahwa kesombonganya hanyalah setitik air dilautan kelemahannya yang dapat menenggelamkan dirinya. Dan ingatlah pula, air kehidupan permata mendung itu pun sudi bercampur dengan air duniawi yang belum sempurna. Air suci itu menderita, tapi dari penderitaannya itulah dunia akan memperoleh kebahagiannya”. … Anak bajangnya mas Sindhu
 Kemudian … Semenjak itu manusia sadar akan keberadaannya didunia dan mulailah manusia selalu berfikir dan bertanya tanya akan setiap hal untuk mencari jawaban terhadap persoalan persoalan hidup, kebenaran, kebaikan dan Tuhan Allahnya, kemudian manusia berikhtiar untuk membuka jalan pengertian yang tertutup misteri kearah kejelasan akan relita yang kadang secara radikal membongkar sampai keakar akarnya setiap gejala yang dipermasalahkan, agar sampai pada suatu kesimpulan yang bersifat universal dengan mencari kejelasan hubungan sebab akibat seperti kita orang jawa yang mewasiatkan Cupu Manik Astagina menjadi pedoman hidup agar menjadi manusia yang sesungguhnya dengan Asta Bratanya.
Anakku …
“Wong Jawa nggone rasa, pada gulangening kalbu, ing sasmita amrih lantip, kumowo nahan hawa, kinemat mamoting driya”
Orang Jawa itu tempat perasaan, mereka selalu bergulat dengan kalbu atau suara hati dan Jiwa, agar pintar dalam menangkap maksud yang tersembunyi, dengan jalan berusaha menahan nafsu, sehingga akal dan fikiran dapat menangkap maksud yang sebenarnya.
Wanita atau wanodya kang puspita, wanita yang cantik jelita, adalah simbol keindahan. Keindahan ini tidak hanya tersirat pada bentuk luarnya saja tetapi juga yang ada dalam jiwa dan budinya. Keindadahan dari wanita yang sempurna merupakan simbol cita cita luhur, seperti laki laki yang ingin memiliki wanita yang cantik jelita untuk di jadikan istrinya. Dengan memiliki cita cita yang tinggi berarti manusia harus berusaha sekuat tenaga untuk belajar, bekerja dan berusaha tanpa mengenal lelah serta pantang menyerah demi mencapai cita cita. Wanodya kang puspita disebut juga juwita yang berarti sarju wani ing tata, selalu berani membela kebenaran.
Garwa atau sigaraning nyawa, belahan jiwa. Suami adalah belah jiwa dari istri dan istrin adalah belahan jiwa suami, satu jiwa dua raga. Maka garwa adalah simbol bersatunya manusia dengan lingkungannya, semua manusia hendaknya dianggap sebagai kawan hidup, dengan hidup rukun, damai, saling mengasihi seperti cinta kasih suami istri yang sehidup semati. Berati setiap manusia harus berbudi luhur.
Wisma atau rumah. Rumah adalah tempat kediaman keluarga yang sekaligus tempat berlindung dari panas dan hujan. Rumah harus diatur, di tata agar rapi dan indah sehingga suasana rumah dirasa asri dan damai. Demikialah juga hendaknya manusia, mempunyai sifat dan pribadi yang dapat melindungi sesama, menyimpan dan mengatur masalah dan bertindak bijaksana terutama mengatur pendapatan menurut tempat, waktu dan keadaan.
Turangga atau tetumpakaning prang para punggawa, kuda tunggangan dari para perwira selalu memiliki sifat gagah, kuat dan lincah, dapat berlari cepat, melompat dan berguling guling sesuai perintah penunggangnya. Bahkan dapat berlari kencang dan menabrak, memporak porandakan apa saja yang menjadi penghalang. Kuda dapat juga berdiri dengan kaki belakang dan menghantam apapun yang ada dimukanya sesuai kendali. Ulah kuda tunggangan perwira perang ini sebagai lambang agar manusia selalu sadar bahwa jasmani, panca indra dan nafsu manusia tergandung dari kendali jiwa dan budi manusia itu sendiri. Jiwa dan budi manusia haruslah selalu dapat menguasai, mengatur dan mengekang  gejolak nafsu jasmaniah agar manusia dapat hidup dengan tentram. Bukan sebaliknya dengan hidup liar tanpa kendali sehingga menuai badai dalam kehidupannya.
Curiga, curi lan raga, batu curi atau batu runcing bisa juga diartikan keris. keris adalah simbol kepandaian, keuletan dan ketangkasan hidup manusia dalam menghadapi segala tantangan hidup. Manusia hendaknya memiliki pikiran yang tajam dengan cara belajar, olah rasa, ulet, tangkas sehingga dapat pula mengambil tindakan yang tepat dan terhindar dari tipu daya sesama.
Kukila atau burung perkutut, suara merdu perkutut dipakai sebagai simbol sebagai tutur kata manusia dimana setiap kata yang diucapkan harus dapat menyejukkan, mendamaikan, dan  menjauhi kata kata yang  menyakitkan hati.  Setiap kata hendaknya tegas berisi, berwibawa sehingga manusia dapat saling menghargai.
Waranggana atau Penari Ronggeng, gerakan dan tingkah tarian ronggeng adalah simbol persaingan dan godaan dalam meraih cita cita luhur. Tarian ronggeng dimainkan oleh 5 orang penari, 1 wanita sebagai ronggeng dan 4 pria  yang melambangkan jenis godaan manusia. Adapun ke empat macam godaan itu adalah :
Amarah, nafsu yang timbul dari telinga atau pendengaran
Aluamah, nafsu yang timbul dari mulut atau kenikmatan rasa atau serakah
Sufiah, nafsu yang timbul dari mata atau penglihatan
Mutmainah, nafsu yang timbul dari hidung atau penciuman
Bila budi manusia dapat mengekang keempat nafsu itu, maka cita cita luhur akan mudah dicapai, karena manusia akan terhindar dari hidup berfoya foya dan bermalas malasan.
Pradangga, praptaning kendang lan gangsa atau keharmonisan gamelan yang diatur oleh irama kendang. Gamelan dilambangkan sebagai masyarakat yang hidup dengan aturan dan hukum yang dijalankan dan ditaati secara bersama sama. Semua manusia saling mendukung saling bermanfaat bagi sesama, sehingga mewujudkan kehidupan yang harmonis, selaras dan itulah kehidupan yang dicita citakan “tata tentrem karta raharja”
Begitulah bibit, bebet dan bobot berada

cupumanik astogino adalah lambang keduniawian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar